Minggu, 21 Desember 2008

PELANGI DI LANGIT GANTONG

Hampir semua anak sekolah atau bahkan rakyat Indonesia tahu bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang pulau-pulaunya tersebar dari Sabang hingga Merauke. Hanya, tidak banyak anak sekolah atau rakyat Indonesia yang benar-benar tahu bagaimana kondisi pulau-pulau yang tersebar itu.

Pelbagai problematika di daerah (luar Jawa) sering kalah oleh hiruk pikuk urusan di pusat, baik itu sektor sosial, politik, kebudayaan. Sehingga informasi dari daerah kurang mendapat perhatian lebih. Tak terkecuali sektor pendidikan. Yang memiliki segudang warna-warni cerita, ada yang indah, ada yang sedih, ada impian, ada pelangi.

Adalah Andrea Hirata, salah seorang yang berupaya menjembatani hal tersebut ke tengah-tengah masyarakat, lewat novel larisnya berjudul Laskar Pelangi. Novel itu bertutur tentang impian, persahabatan dan ketimpangan sosial dunia pendidikan kita yang dialami anak-anak di daerah-daerah di belahan bumi Indonesia. Usai mendulang sukses pada bukunya sejak diluncurkan tahun 2005, kesuksesan itu diulang kembali dengan dibuatkannya sebuah film yang diadaptasi dari novel tersebut dengan judul sama. Yang dibesut oleh dua orang sineas muda Indonesia terkemuka saat ini, yakni Riri Riza dan Mira Lesmana.

Latar belakang yang menjadi setting cerita ialah Belitong, Sumatera Selatan era 1970-an. Cerita diawali saat hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah di desa Gantong. Hari itu adalah hari yang sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta sembilan orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai sepuluh murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup. Hari itu, Harun, seorang murid istimewa datang menyelamatkan mereka.

Kesepuluh murid berikutnya dinamai Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, dan menjalin kisah yang tak terlupakan. Selama lima tahun bersama, Bu Muslimah, Pak Harfan dan kesepuluh murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing-masing, berjuang untuk terus bisa sekolah.

Di antara pelbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka. Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kembali harus menghadapi tantangan yang besar.

Kesepuluh siswa yang bersekolah di SD itu bukan berasal dari keluarga kaya, namun mereka memiliki kemauan belajar yang tinggi, terutama Lintang yang harus menempuh perjalanan jauh agar bisa terus bersekolah. Berbanding terbalik dengan SD PN Timah yang berkondisi sangat baik. Kekayaan alam Belitong dirampas perusahaan tersebut, dan rakyat sekitar tidak mendapat menikmati hasilnya, terkecuali para pekerja PN Timah yang anak-anaknya bisa bersekolah di sana.

Dalam film, anak-anak SD PN Timah bisa menikmati meja-kursi dan pensil baru. Tak hanya itu, kekontrasan tersebut makin dipertajam dengan baju seragamnya. Anak-anak SD PN Timah selalu memakai seragam baru dan batik pada hari Senin. Sedang anak-anak SD Muhammadiyah Gantong hanya memakai baju seragam satu-satunya.

ANALISA DAN PESAN FILM
Laskar Pelangi adalah bagian pertama dari tetralogi karangan Andrea Hirata yang menulis film ini berdasarkan pengalaman hidupnya. Kendati diangkat dari kisah nyata, penggunaan nama-nama fiksi menandakan bahwa karya ini masuk dalam wilayah fiksi. Sastra.

Ketika film menceritakan kekontrasan dua SD yang saling bertolak belakang itu, Riri Riza sesungguhnya telah membawa penonton masuk ke dalam kekontrasan pendidikan dan juga ketimpangan sosial. Namun, kekontrasan itu diceritakannya secara santun, tanpa mengolok-olok yang miskin dan tidak memuja-muja yang kaya.

Di film ini nampaknya Riri langsung menyusup ke masalah inti, yaitu kemiskinan. Ia mendekam berlama-lama di masalah mengerikan itu, tak melawan, karena ia tak punya sifat seperti itu. Ia merenungi, mencari-cari pelangi dari pelosok miskin itu. Dan mengajaknya bertahan sampai nasib memberi peluang (atau tidak). Jangan menyerah, begitu pesan Andrea dalam bukunya. Dan pesan itu diwujudkan dengan baik sekali, lebih baik dari novelnya, lewat sosok Lintang.
Lintang yang kalah, tak bisa lanjut bersekolah dan tetap miskin hingga dewasa, ternyata tak pernah menyerah. Semangatnya ia wariskan: anaknya ia minta bersekolah, bagaimana pun keadaannya. Ini adalah pesan yang tepat-masa. Pesan yang jadi kuat karena konteks Indonesia senyatanya memang sedang kalah dalam banyak hal.

Dengan pengambilan gambar yang apik, penonton lantas dibawa hanyut larut dalam cerita tentang perjalanan sebuah sekolah dasar dengan segela keterbatasannya. Ada persahabatan, ada impian ada juga harapan tentang masa depan dari 10 anak yang akhirnya menamakan diri mereka Laskar Pelangi itu. Ada juga kisah suka cita, duka lara hingga kisah cinta termasuk kisah cinta Ikal dengan A Ling yang berawal dari kapur tulis, semuanya dituangkan dalam bentuk visual yang menarik. Menariknya, film ini tidak ditulis dengan bahasa baku selayaknya film indonesia biasa, namun masih disuntik peribahasa Indonesia baku untuk accesibility.

Agaknya kehadiran film Laskar Pelangi ini bisa dijadikan pembuka mata batin kesadaran orang-orang di Indonesia mengenai betapa pentingnya pendidikan, terutama pendidikan di daerah yang jelas kalah jauh di bawah pendidikan di Jawa (di daerah dekat pusat pemerintahan). Selain itu membuktikan bahwa masih banyak hal yang belum tergali di tanah Indonesia untuk dijadikan tema film. [Lilih Prilian Ari Pranowo, 2008]

.: pernah dimuat di majalah Jogja Education, edisi VII, Desember-Januari 2008 :.

SENJA YANG SUDAH MATI

"Hatinya hilang, hatinya hilang, hatinya hilang," teriak mereka.

Aku tak mampu apa-apa lagi, seluruh tubuhku kelu. Berat sekali. Dan sebentar kemudian, mataku merapat. Dan, badanku menjadi ringan. Aku terbang. Menuju hitam.

Duduk aku di pantai ini, menatap jingganya sunset yang sebentar lagi akan tergantikan oleh gelap. Lembut belaian angin sepoi menerpa tubuhku. Ombak tergulung. Dan, camar-camar beterbangan. Ingin pulang nuju sarang.

Sepinya pantai ini. Sejauh mataku memandang, tak ada siapa-siapa. Hanya aku seorang dan seorang hitam, yang berada agak jauh dariku. Tak tahu siapa. Menatapku. Lain tidak, kecuali memang makhluk-makhluk yang bertabitat di sini. Namun, aku tak ambil peduli dengan itu semua. Aku heran, kenapa aku ada di sini? Entah. Perasaanku sepertinya ingin menikmati saat ini. Menikmati ini, sendiri saja.

Kuingat dirimu di sana. Kekasihku. Jauh. Berada di seberang lautan nun jauh dari pelupuk mataku. Butuh kapal atau sekedar perahu untuk sampai ke tempatmu. Tapi, terus terang aku tak punya. Jadi, kunikmati saja kerinduan ini. Kerinduan yang telah sampai ke atas ubun-ubunku. Sambil menatap senja.
Hei! Sedang apa kau di sana? Ah, mungkin bersama kekasih barumu? Membuainya dengan kata-kata mesra yang sama, seperti yang pernah kau katakan kepadaku. "Hei, aku rindu!"

Sepatah kata itu akhirnya terucap pelan dari bibirku yang kelu menahannya. Sebuah ungkapan kerinduan hati yang tertahan selama ini. Besok adalah hari ulang tahunmu, ya, aku ingat besok adalah hari yang sangat penting bagi dirimu. Entah, aku akan memberikanmu apa. Mungkin kau tak ingin apa-apa dariku, seorang hilang ini. Tapi, sungguh aku ingin memberikannya tanpa bermaksud apa-apa lagi.

Senja memerah dengan jingganya. Pun laut telah menghitam. Semua hampir tergantikan kegelapan malam. Aku ingin pulang. Selang beberapa saat, datang ide bagiku untuk mengambil beberapa ornamen dari pantai ini sebelum pulang. Ya, untuk kujadikan kado buat kamu. Kamu seorang saja. Agar, kau tahu kerinduanku ini sudah menjamur di padang-padang pengembaraan panjangku.
Segera mulai kupunguti pasir, kerang, dan sedikir air laut yang kumasukkan ke dalam botol. Juga tak lupa kuabadikan sunset yang masih memerah di dalam HP-ku, sebuah sunset yang dulu pernah menjadi saksi antara kita. HP berkamera digital. Dan, klik. Semuanya sudah kujadikan satu dalam kantong plastik. Seterusnya, hari sudah mulai gelap, matahari sudah tak tampak lagi, termakan ufuk barat, pun cahyanya yang kemerah-merahan sudah hilang. Malam datang. Aku pulang.

***
Matahari membumbung tinggi. Pagi. Kutonton dari balik jendelaku, burung-burung gereja bernyanyi ceria di antara dedaunan dan dahan-dahan pohon. Merdu sekali. Semerdu suaramu. Kurasai. Menjadi teringat benakku lantunan lagu Eric Clapton dulu, sewaktu kita pergi ke suatu pesta.

We go to a party and everyone turns to see
This beatiful lady that's walking around with me
And then she asks me, "do you feel all right?"
And I say, "yes, I feel wonderful tonight."

Aku begitu bersemangat untuk cepat-cepat ke kantor pos. Mengirimkan kado untukmu dengan paket kilat khusus, yang esok akan kau terima. Sebuah kado spesial buat kamu.

Aku berjalan. Hari ceria. 10 menit aku terus berjalan, tiba-tiba langit menjadi gelap. Seluruh awan putih berarak ke utara. Digantikan awan hitam dari selatan. Angin menerpa dengan tiupannya yang keras. Matahari telah tertutup awan tebal. Kelabu. Hujan sebentar turun. Masih 20 menit sampai ke kantor pos. Aku berlari. Berlari kencang. Takut, kalau-kalau kantor pos sudah tutup. Aku berlari lebih kencang. Hujan turun dengan derasnya. Aku tetap berlari. Kubungkus kado untukmu dengan plastik agar terhindar dari guyuran hujan. Biar tak rusak saat kau menerimanya. Bukankah guyuran hujan mengandung asam yang dapat merusakkan benda-benda, katamu dulu.

Aku berlari. Berlari terus. Sudah 16 menit aku berlari. Berlari. Dan, di kejauhan, aku melihat seorang hitam. Aku tak acuhkan. Aku tak peduli. Yang penting bagiku sekarang, adalah aku berhasil mengirimkan kado ini untukmu. "Kantor pos!" kuucapkan dalam hati. Aku melebarkan senyum pada diriku sendiri. Makin kupercepat langkah kakiku. Dengan napas tersengal, aku sampai. Kupandangi kantor pos itu dari depan pintunya. Belum tutup. Ah, betapa lega hati ini. Tersenyum. Kubayangkan dirimu tersenyum di sana menyambut kado kirimanku ini. Aku begitu bahagianya. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku. Spontan saja kutolehkan mukaku dengan maksud untuk berbagi kebahagiaan dengannya. Dan, jlep, jlep, jlep, tiga lubang bersarang tepat di tubuhku. Aku rubuh.

***
Samar kulihat orang itu. Dia meringis. Gembira? Bahagia? Sedih? Kecewa? Entah. Aku tak tahu. Tapi, ah terasa perih tubuhku. Sekujurnya kaku, tak bisa kugerakkan sedikit pun. Lalu kurasai tubuhku terguncang-guncang. Aku tak berdaya. Kudengar dia terbahak. Tak jelas, telingaku sakit. Merah bercecer. Namun, tak ada siapa-siapa. Aku sendirian.

Kufokuskan mataku. Ingin tahu. Aku memang sudah tak kuat lagi. Tetapi, paling tidak aku bisa tahu siapa dia supaya aku tak penasaran. Dan, menjadi hantu yang berkeliaran mengganggu ketenangan orang-orang tak berdosa.

Wajahnya hitam. Seluruh tubuhnya juga hitam. Dan, ingatanku melayang menuju pantai kemarin. Ya, sosok hitam itu, persis seperti dia. Seorang hitam di pantai yang bersamaku. Dan juga, seseorang yang kulihat di jalan tadi. Mirip seperti dia. Apakah dia ini?

"Hei! Kau kurang ini!" Katanya. Dia mengacung-acungkan tangannya ke mukaku. "Akan kukirimkan. Akan kukirimkan," lanjutnya lagi.

Lalu, ia berjalan pergi membawa paket untukmu dan segumpal daging bersamanya. Masih mengucurkan darah segar.

Aku sendirian. Sepi. Sepi. Hujan masih membasahi bumi. Tiba-tiba, tubuhku terasa ringan. Aku melayang. Kulihat jasadku dikerumuni banyak orang. "Hatinya hilang, hatinya hilang, hatinya hilang!" Ujar kerumunan itu.

Aku menuju hitam. Aku lepas jasad. [Lilih Prilian Ari Pranowo, Yogyakarta, 2004, saat masih kuliah]

.: pernah dimuat di koran Sriwijaya Post, edisi Minggu, 16 Januari 2005 :.

MAMPET

Apa ya ?

Aku mengaruk-garuk kepala untuk kesekian kali, bukan karena gatal, namun aku mencoba mengorek-orek sampah-sampah ide yang bersarang di kepalaku. Kutatap langit-langit. Tidak ada apa-apa di sana. Kupelototi permukaan karpet. Hitam saja tiga perempat warna karpetku memang hitam. Kuperhatikan jam weker biruku. Kosong. Ke bawah meja. Sama. Ke tembok. Apalagi! Hanya sarang laba-laba saja yang nampak di mataku.

Apa ya? Apa coba yang mesti kutulis ?

Aku beranjak dari dudukku. Mencoba keluar dari kamar yang semakin sumpek ini. Barangkali saja hembusan angin dan udara luar yang segar dapat menyegarkan kepalaku yang sedang mampet. Aku berjalan, terus berjalan menyusuri jalanan. Tanpa tahu arah mana jalan yang akan kutuju. Tengok kiri-kanan, mencoba menangkap sesuatu gerakan sekecil apapun dari kejadian di hari ini untuk kujadikan sumber ide. Namun, belum satupun yang dapat menginspirasikan diriku dan kejadian-kejadian yang kulihat sekarang, belum satupun yang berhasil menggoda imajinasiku.

Ah, barangkali memang menjadi penulis cerita tak segampang yang digembar-gemborkan banyak orang. Katanya, kita tinggal punya daya imajinasi yang tinggi, dan mampu menangkap kejadian-kejadian yang ada setiap hari. Padahal aku sudah membaca buku kisah bagaimana orang-orang beken¾dalam bidang tulis-menulis cerita tentunya¾bisa menghasilkan cerita yang dashyat, meledak-ledak, sehingga mampu menguasai pembacanya. Juga beberapa buku tentang teori-teori cara menjadi penulis cerita yang baik. Tidak! Tidak! Ternyata memang sulit … lit … lit. Karya-karya sastra dari orang-orang beken tersebut juga sudah kulalap abis, dari mulai Kahlil Gibran, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lainnya. namun, itu tak mengubah aku untuk bisa menulis cerita. Satu cerita saja. Satu cerita saja yang ingin kuhasilkan. Mampet benar-benar mampet.
Sebentar aku telah berada dekat pada kerumunan manusia yang memadati ujung jalan itu. Polisi juga telah memadati areal sekitar. Aku bergegas ke sana , barangkali saja aku menemukan sumber ide yang bisa kujadikan cerita. Aku celingak-celinguk mencoba untuk dapat menggapai apa yang ada di depanku tiga perempat depanku sudah penuh sesak orang-orang yang juga menonton. Sebenarnya ada apa sih, pikirku.

“Gile, tuh orang mati dalam keadaan yang mengenaskan banget,” teriak seseorang yang berada di depanku.

Mendengar perkataan tersebut, aku menjadi semakin bersemangat untuk melihat orang mati tersebut. Ada apa sebenarnya? Ah, inilah sumber ideku. Aku berusaha menerobos orang-orang yang ada di depanku, agar aku dapat melihat dengan lebih jelas.

“Korban kecelakaan,” seru yang lain.

Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat mayat itu. Aku tak kuat melihatnya lebih lama. Segera kutinggalkan tempat itu. Sedikit berlari aku menjauh dari tempat kerumunan orang-orang itu. Kugambarkan keseluruhan tentang keadaan fisik dari mayat tersebut. Dia seorang laki-laki, berumur sekitar 30-an, bertubuh besar. Namun, yang paling mencolok dari mayat itu adalah mayat tersebut ada tanpa kepala. Bergidik aku membayangkannya. Mungkin itu korban tabrak lari atau korban kecelakaan atau korban dari sebuah pembunuhan, entahlah aku tak mau tahu. Itu bukanlah sebuah ide. Sudahlah kulupakan saja hal tersebut sebagai sumber ideku. Kususuri lagi jalanan.

Menjadi penulis pemula memang membutuhkan energi ekstra untuk mengembangkan imajinasi-imajinasi yang melintas, itu kata seorang yang pernah kuikuti dalam diskusi bagaimana menjadi penulis yang baik. Tapi boro-boro punya energi ekstra mengembangkan imajinasiku, untuk mencari ide saja aku kesulitan. Hah, apakah aku memang tak berbakat menjadi penulis cerita.

Aku berhenti di atas sebuah jembatan. Kupandangi air kali yang mengalir dari atas jembatan. Banyak sampah di bawahnya. Aha, aku berpikir akan mempunyai ide bila aku turun ke sana dan berlama-lama nongkrong disana. Menghayati seluruh sampah-sampah yang ada di kali tersebut. Seperti pernah kuketahui pula seorang seniman kenamaan mendapatkan ide-ide justru dari sampah-sampah yang berserak. Toh, tak ada salahnya aku mengikuti jejaknya, siapa tahu pula aku mendapatkan ide-ide segar di dalamnya.

Begitu bersemangat aku turun dari atas jembatan menuju bawah jembatan. Setelah sampai di bawah jembatan. Langsung saja menongkrongi tumpukan sampah di sekitar bawah jembatan itu. Satu persatu kupandangi sampah-sampah itu. Aku membayangkan akan mendapatkan setumpuk ide yang menggunung untuk cerita-ceritaku.

Sejam. Dua jam. Tiga jam. Empat jam. Bahkan hampir seharian aku nongkrong di sana , tak kudapatkan ide satupun. Ah, aku stress jadinya. Apa sih yang harus kulakukan untuk mendapatkan ide. Hoi apa donk? Apa yang harus kutulis, kalau aku tak punya ide. Mampet benar-benar mampet. Benar-benar mampet kelas tinggi.

Duk. Duk. Duk, suara pintu kamarku digedor membuyarkan lamunan. Ah, brengsek. Siapa lagi itu, batinku, sedang serius begini. Kubuka pintu kamarku. Dan kudapati seseorang di sana . Rupanya pengantar makanan pesananku. “Mas, ini pesanan loteknya.” Sambil menyerahkan sebuah bungkusan kresek berwarna hitam. Lalu kuserahkan dua lembar seribuan padanya, tanda pembayaranku. Kemudian dia beranjak pergi meninggalkanku. Kututup pintu kamarku lagi. Ah, benar-benar tak ada ide hari ini. Mampet. Kalau begini aku tak ada cerpen hari ini. Memang benar-benar mampet. [Lilih Prilian Ari Pranowo]

.: pernah dimuat di buletin Sansekerta, edisi 2004 :.